Sabtu, 25 Desember 2010

pemain film in the love mihrab

Satu lagi film Indonesia bertema religi yang akan meramaikan dunia perfilman Indonesia ditengah maraknya film bertema horor yang mayoritas mengumbar seksualitas. Film ini berjudul 'Dalam Mihrab Cinta' atau DMC yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El Shirazy atau akrab dipanggil Kang Abik, yang juga merangkap sebagai sutradara film ini. Para pemain utama film 'Dalam Mihrab Cinta' ini antara lain Dude Harlino, Asmirandah, Meyda Sefira dan Boy Hamzah. Film 'Dalam Mihrab Cinta' ini siap tayang di bioskop mulai tanggal 23 Desember 2010. Sementara untuk syutingnya sudah dimulai sejak tanggal 21 September 2010 dan selesai tanggal 5 November 2010.
Dalam film 'Dalam Mihrab Cinta' atau DMC yang diproduksi Sinemart ini, Dude Harlino memerankan tokoh Syamsul, yang harus dibotaki kepalanya karena dituduh mencuri di pesantren. "Saya harus botak. Botak abis. Karena kata kangAbik (Habiburrahman El Shirazy) salah satu hukuman di Pesantren awalnya adalah dicukur abis, baru diusir dari pesantren. Dari awal saya memang sudah diingatkan akan dibotakin. Saya bilang ga apa-apa lah, karena saya juga sudah membaca noveletnya. Malah menurut saya itu akan menambah nilai dramatis dari cerita ini," jelas Dude.
Menurut Dude, film 'Dalam Mihrab Cinta' ini adalah sebuah karya besar yang bisa dinikmati dalam waktu yang panjang. "Kita bukan bikin sesuatu yang kecil di sini, tetapi karya besar. Dan karya ini bukan hanya akan dinikmati tahun ini, tapi insya Allah untuk tahun-tahun berikutnya juga. Dan mungkin selama hidup saya. Jadi kenapa harus setengah-setengah. Kemudian ya itu tadi perubahan-perubahan karakter Syamsul dari yang baik-baik, sampai yang antagonis sekali, lalu kembali ke jalan yang benar karena nekad," Papar Dude.
Berikut ini adalah daftar lengkap nama-nama artis pemain film 'Dalam Mihrab Cinta' :
* Dude Harlino berperan sebagai Syamsul Hadi
* Asmirandah berperan sebagai Silvie
* Meyda Sefira berperan sebagai Zizi
* Tsania Marwah berperan sebagai Nadia
* Boy Hamzah berperan sebagai Burhan
* El Manik berperan sebagai Pak Bambang
* Ninik L Karim berperan sebagai Bu Bambang
* Elma Theana berperan sebagai Bu Heru
* Umar Lubis berperan sebagai Pak Broto
* Neno Warisman berperan sebagai istri Kyai Miftah
* Iszur Muchtar berperan sebagai Pak Heru
* Berliana Febrianti berperan sebagai Bu Broto
* Kaharudin Syah berperan sebagai Pak Anwar
* Penampilan khusus : Nabila Chairunnisa
Berikut ini adalah daftar lagu-lagu soundtrack atau OST film 'Dalam Mihrab Cinta' :
* Lagu 'Dalam Mihrab Cinta' dinyanyikan oleh Afgan
* Lagu 'Bunga Bunga Cinta' dinyanyikan oleh Dude Harlino dan Asmirandah
* Lagu 'Karena Hati Bicara' dinyanyikan oleh Oki dan Andi Arsyil
* Lagu 'Aku Tak Berdaya' dinyanyikan oleh Indah Dewi Pertiwi
* Lagu 'Prahara dan Asa' dinyanyikan oleh Rino
* Lagu 'Dalam Mihrab Cinta' (Chamber Version) dinyanyikan oleh Afgan
Dan berikut ini adalah sinopsis atau ringkasan cerita film 'Dalam Mihrab Cinta' :
"Syamsul (Dude Harlino) pemuda 20 tahun-an bertekad menuntut ilmu di sebuah pesantren di Kediri, meninggalkan kehidupannya yang cukup nyaman. Disini ia bertemu dengan Zizi (Meyda Sefira) putri pemilik pesantren yang pernah ditolongnya ketika dijambret di kereta, dimana kejadian tersebut membuat mereka menjadi dekat.
Di pesantren ini Syamsul terusir karena dituduh mencuri akibat fitnah sahabatnya sendiri Burhan (Boy Hamzah). Kemudian karena keluarganya sendiri juga tidak mempercayainya, hingga benar-benar membuat Syamsul menjadi seorang pencopet.
Di tengah kekacauan dan kegelapan hidupnya ini Allah memberikan jalan baginya untuk bertobat dan mempertemukannya dengan Syilvie (Asmirandah) seorang gadis solehah."
Apakah Syilvie nantinya yang akan berjodoh dengan Syamsul ataukah Zizi yang bakal jadi pendamping hidupnya? Jangan lewatkan film 'Dalam Mihrab Cinta', sebuah karya besar Habiburrahman El Shirazy ini yang akan hadir di bioskop mulai tanggal 23 Desember 2010.
(Opung)

foto film terbaru

love in perth

Sinopsis

Lola (Gita Gutawa), cewek 16 tahun, mendapatkan beasiswa di sebuah high school terkenal di kota Perth, Australia. Lola tak pernah menyangka bahwa Perth akan mengubah hidupnya. Dimulai dari teman satu apartemennya yang kemudian menjadi cewek yang paling membenci Lola, bernama Tiwi (Michella Putri); teman baru bernama Ari (Petra Sihombing); sampai… seorang cowok bernama Dhani (Derby Romero).
Dhani, murid senior, tajir dan keren. Hubungannya dengan Lola seperti anjing dan kucing, lalu kemudian berubah menjadi teman dekat Lola hingga bahkan membuat Lola jatuh cinta.
Namun ketika mereka bertambah dekat dan Lola mulai mencintai Dhani, Dhani justru mengecewakannya. Sikap Dhani, kesombongannya, keegoisannya, semua perbuatannya hanya untuk memanfaatkan Lola demi kesenangannya sendiri, menyebabkan Lola gagal dalam pelajaran. Lola terlalu sibuk mengurus Dhani sementara Dhani terlalu sibuk mengurus dirinya sendiri. Lola pun memutuskan menjauhi Dhani, ketika kemudian Ari yang mulai jatuh cinta pada Lola.
Di saat kerenggangan hubungan itu, Dhani mulai merindukan Lola dan menyadari bahwa sebenanrnya ia mencintai cewek itu. Tapi sekarang sudah ada Ari.
Lola harus memilih. Ari atau Dhani, untuk menemukan cinta sejatinya di sebuah kota bernama Perth.[1]

[sunting] Pemeran

top ten

Seperti halnya musik, perfilman kita beberapa tahun belakangan ini memang sudah dapat disebut sebagai tuan rumah di rumah sendiri. Jika sebelumnya penonton kita hanya membanjiri bioskop yang memutar film-film box office asal negeri Paman Sam, maka kini, antusiasme penonton terhadap film-film karya sineas negeri sendiri telah sampai kedalam tahap yang menggembirakan.
Berikut ini daftar film terlaris sepanjang tahun 2010:
1          Sang Pencerah – 1.094.229 penonton
2          18+ : True Love Never Dies – 512.973 penonton
3          Menculik Miyabi – 447.453 penonton
4          Tiran (Mati di Ranjang) – 418.347 penonton
5          Satu Jam Saja – 400.000 penonton
6          Akibat Pergaulan Bebas – 399.480 penonton
7          Alangkah Lucunya (Negeri Ini) – 389.136 penonton
8          Red Cobex – 382.417 penonton
9          Rumah Dara – 379.247 penonton
10        Lihat Boleh, Pegang Jangan – 368.829 penonton
Jumlah di atas diambil dari PPFI (Persatuan Pengusaha Film Indonesia), produser film dan sumber-sumber lainnya. Semoga tahun 2011 perfilman kita lebih semarak, baik dari segi jumlah penonton, maupun dari segi jumlah film. (Ejha Rawk)

unsur "tiiiiiiiit" (sensor) pada film indonesia

Film nasional kembali berjaya. Namun, film-film Indonesia yang kini beredar justru bertema horor dan dibumbuhi adegan seks.
Film horor yang menyerempet pornografi ini menjadi topik serius dalam Yahoo!Answers, Jumat 29 Januari 2010. Sebagian besar pembaca menilai film Hantu Puncak Datang Bulan tidak layak ditayangkan.
Bimra, misalnya, dia menilai film horor yang saat ini beredar telah menunjukkan kurang kreatifnya orang Indonesia.
“Maunya modal dikit tapi untung banyak. Coba lihat tentang mau hadirkan Miyabi di film Indonesia dulu. Kenapa nggak ngundang Jackie Chan, atau yang lainya kok malah bintang porno. Itu kan menunjukan kurang kreatif dan pingin ngrusak moral bangsa. Daripada MUI ngurusin haramnya rokok dan foto prewedding, mending ngurusin film indonesia ini. Coz meskipun ada tulisan untuk 18+ tapi yang nonton anak 12 tahun juga boleh masuk. Kayak halnya ke diskotik juga sama.”
Hamong juga berpendapat sama. Menurutnya, film Hantu Puncak itu hanya bermodal serem saja.
“Untuk lebih menarik ditambah unsur porno. Itulah kemampuan perfilman Indonesia. Saya nggak tau, apa karena kurang modal, atau gak punya daya khayal atau memang orang indonesia yang masih dangkal.”
Kritikan juga datang dari Rita. Menurutnya, film nasional saat ini tidak mendidik generasi muda.
“Ini sangat tidak mendidik generasi muda yang akan menjadi pemimpin kelak. Akibatnya akan menghancurkan pemerintahan sendiri.”
Suryo menyatakan, film-film horor saat ini biasa-biasa aja. Tak lebih hanyalah hiburan yang disajikan sedemikian rupa untuk menyenangkan penonton aja.
“Tapi kalo sudah berbau pornografi tuh lain ceritanya. Itu sudah tidak mendidik dari segi moral, dan dilarang oleh agama tentunya. Lebih-lebih kalau yang nonton anak-anak di bawah umur, wah bahayanya besar tuh. Doain aja yah mudah-mudahan semua produser yang membuat film-film horor yang berbau pornografi ditegur oleh TUHAN dan segera bertaubat,…amiin…”
Imron juga menilai perfilman Indonesia kembali merosot tajam.
“Entah kekurangan ide untuk membuat sebuah film yang inspiratif atau entah tingkat libido para pembuat film kelewat batas atau juga karena sebagian artis kita gemar ber-eksibisme alias puas jika tubuhnya dieksploitasi ke publik, atau memang negeri ini lagi sakit, publiklah yang secara cerdas dan bijak menilai”
Meski demikian, tidak semua pembaca mengecam film horor yang saat ini beredar. Rofio misalnya, dia menilai film horor yang saat ini ada belum melewati batas-batas asusila. “Intinya masih aman-aman saja.”
Bulet Terong pun menilai, bahwa semua tergantung pada cara pandang dan cara pikir kita masing-masing sebagai pribadi yang bermoral.
“Sebenarnya, kita sebagai “bangsa tuan” bisa memilih sendiri apa yang pantas dan tidak pantas kita pakai, tonton, keenakan.
“Bukankah kita sudah merdeka, sehingga tidak perlu diatur oleh orang lain??? Nah kalau masing-masing dari kita sudah merasa dirinya adalah “bangsa tuan”, maka pribadi kita sudahlah pasti dapat memilih apa yang kita rasa cocok dan baik untuk kita. Sehingga bukan lagi MUI atau apalah namanya yang harus menentukan apa yang boleh kita pakai, kenakan, tonton dan sebagainya. Tetapi tiap individu tahu apa yang semestinya mengisi otak dan hatinya sendiri dan keluarganya.” (vivanews)

perkembangan film indonesia

Perkembangan film Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cukup menggembirakan setelah sempat mengalami kematian suri, kata pengamat film dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Zein Mufarrih Muktaf. "Film Indonesia kini semakin berjaya di dalam negeri. Secara kuantitas, jumlah film Indonesia yang diproduksi dari tahun ke tahun cukup signifikan kenaikannya," katanya menanggapi perkembangan film Indonesia, di Yogyakarta, Kamis. Namun, menurut dia, banyaknya film Indonesia yang muncul itu akhirnya menyebabkan kecenderungan kesamaan tema dan alur cerita. Akhir-akhir ini, film-film Indonesia terjebak pada tema percintaan dan horor. "Di tengah keseragaman tema tersebut, film indie dapat menjadi sebuah tontonan alternatif di antara film-film komersial yang ada," katanya. Ia mengatakan, dengan kemajuan teknologi informasi seperti sekarang, perkembangan film indie mengalami kemajuan secara signifikan dalam kuantitas, meskipun masih juga diperlukan perbaikan.

"Perkembangan tersebut karena teknologi yang semakin murah dan mudah didapatkan. Kini semua orang dapat dengan mudah mengakses video, program editing atau penyuntingan juga banyak yang bisa didapatkan secara cuma-cuma," katanya. Menurut dia, banyaknya penyelenggaraan festival film di Yogyakarta adalah salah satu bukti pesatnya perkembangan film indie. "Komunitas film indie juga luar biasa antusias menyambut festival semacam itu. Film-film indie keluaran Yogyakarta juga patut dibanggakan secara kualitas," katanya. Ia mengatakan, film dibagi menjadi dua kategori, yakni film yang merupakan seni untuk seni dan film yang merupakan seni untuk khalayak atau pasar. Film indie termasuk dalam kategori seni untuk seni, bukan seni untuk khalayak atau pasar. Film indie itu film yang independen dan dapat menyuarakan apa yang diinginkan tanpa harus "embel-embel" tuntutan pemilik modal sehingga lebih jujur menyampaikan sesuatu. Menurut dia, jika dapat dimanfaatkan dengan baik, film bisa menjadi salah satu sarana terbaik dan paling efektif untuk menyampaikan pesan. "Melalui film, orang akan merasa terhibur sehingga dalam kondisi senang itu akan membuatnya lebih mudah dalam menerima pesan yang terkandung di film tersebut," katanya.(Mic/Ant)

fiLm's OpiNion

Genre film tertentu yang terlalu dominan dewasa ini sekaligus tidak membawa pesan yang membangun sebaiknya di kurangi dengan ajakan-ajakan edukatif. Menggiring tontonan seperti ini tentu perlu pendekatan yang serius dan membumi. Janganlah ditambah atau dipersulit bangsa ini dengan nilai-nilai yang kurang mumpuni, bawalah alam pemikiran mereka kepada sikap-sikap positif. Setidaknya film sendiri menjadi alat bantu pemerintah untuk mamajukan pendidikan mental dan spiritual tidak hanya melalui formal atau agama.

Dinamika film Indonesia adalah perubahan. Sifat menutup diri dari kritik, perundangan yang sudah usang, peraturan yang statis tidak fleksible harus senantiasa mengalami revisi seiring dengan perubahan yang cepat. Ada pepatah bijak mengatakan “ Bersiap-siaplah di telan jaman jika kita tidak dinamis”. Sikap-sikap seperti inilah harus menjadi referensi bagi seluruh elemen perfilman negeri ini.

Janganlah sejarah polemik insan film dengan pemerintah atau badan/lembaga terkait menjadikan kemunduran film bangsa ini. Biarlah waktu yang menentukan dan biarlah itu menjadi pendewasaan pemikiran. Harapan kedepan akan cerahnya film Indonesia masih terbuka lebar. Sumber daya manusia tidak pernah kering di negeri ini hanya penanganan dan sistim yang benar akan menumbuhkan harapan-harapan baru.

FFI dan penghargaan merupakat apresiasi tertinggi di dunia film Indonesia. Pertama kali diadakan di tahun 1955 dan Piala citra sebagai puncak kebanggaan para insan film di kancah yang paling bergensi di negari ini. Faktanya banyak kegelisahan dan kemelut dalam kinerja sistim di tubuh FFI masih mengundang polemik bahkan sampai dewasa ini. Terakhir film Ekskul di nobatkan sebagai peraih film kategori terbaik. Kontan banyak terkejut, para sineas muda mempertanyakan sistim penjurian. Mirip ketika generasi Usmar Ismail yang kala itu karyanya berjudul Lewat Djam Tengah Malam tidak meraih penghargaan kategori Sutradara terbaik.

Film ini dianggap ‘menggangu’ karena sifatnya mengkritik pemerintahan yang korup pasca perang revolusi. Karena banyak pengetatan aturan serta monopoli pada zaman orde baru. Pembungkaman corong politik sangat tabu diangkat ke layar lebar. Sehingga mematikan daya kreativitas, serta pemasungan berbicara di ranah tersebut sangat dilarang. Mungkin banyak film-film independen bawah tanah masih eksis tetapi tidak nampak ke permukaan. Sungguh tragis nasib film kita dewasa itu. Disamping atmosfir waktu itu tidak banyak membantu mencipta karya layar perak. Hanya sebagian film yang mendukung pemerintah atau tidak menyinggung hal sensitif.


Kemudian kurang harmonisnya para insan film dengan badan/lembaga perfilman nasional seperti BP2N, Lembaga Sensor Film (LSF) yang semuanya bemuara pada UU no 8 tahun 1992. Banyak persoalan-persoalan mengemuka ke publik mulai dari sistim kinerja FFI, pemotongan scene film. Mungkin banyak kepentingan turut campur dan terlibat sangat jauh. Sejauh ini memang terdapat tarik ulur secara policy, dan tampaknya titik temu masih jauh dari harapan. Barangkali semua masalah yang meliputi negeri perlu waktu, energi, dan biaya untuk tahap kemapanan dan stabil. Tetapi kadang timing yang tidak tepat. Minimal harus ada moral tanggung jawab terhdap kelangsungan perfilam Indonesia dengan tidak di tunggangi muatan politis.

Sudah saatnya lupakan permasalahan rumit nan pelik tadi. Masih banyak contoh bahwa tanpa atau dengan itu banyak potensi yang masih di kembangakan tanpa perlu melibatkatkan diri dalam permasalah di lihat dari segi masyrakat awam. Karena pergeseran baik berupa nilai, estetika, dan pandangan yang dinamis, tentu kebijakannya harus memberikan ruang dialog yang lebih luas demi kemajuan film tanah air. Bahkan boleh jadi ukuran-ukuran apresiasi film sangatlah subjektif. Apakah itu FFI, JIFFEST, FFJ atau penghargaan-penghargaan baik dari instansi pemerintah maupun non pemerintah secara independen, toh pada akhirnya masyarakatlah yang memilih tergantung pada tingkat kedewasaan pemahaman mereka terhadap film.

Masih hangat permasalahan undang-undang media pers sempat menjadi polemik nasional. Anggota legislatif dan komisi penyiaran harus merevisi setelah adanya masukan dari media cetak dan televisi. Gesekan perbedaan paling sering mengemuka adalah masalah batasan mengenai wilayah eksistensi dari ekspresi kebebasan . Sering kali benturan dengan lembaga sensor baik itu dari media pers maupun film. Penulis sekaligus sutradara Asrul Sani di tahun 1992 pernah mengatakan bahwa lembaga sensor sudah saatnya ‘ diperbaharui’ karena sudah tidak bisa menampung masalah perkembangan intelektual yang semakin kompleks. Beliau memberikan alternatif solusi dengan memberikan sepenuhnya kedalam bentuk diskusi atau dialog secara demokrasi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, pemerintah, insan film, media, pembuat dan distributor bersama-sama ikut bertanggung jawab dalam menciptakan kemaslahatan kehidupan film.

Seandainya RUU perfilman seperti yang telah dikemukakan diatas perlu adanya penyempurnaan, kenapa tidak. Tentunya dengan revisi akan mempermudahan penyelenggaraan bukan menambah masalah baru.

Sesungguhnya, secara legal dan badan, lembaga, asosiasi, dan unsur-unsur terkait dalam kecintaan mewarisi dan melindungan harta hasil karya-karya seni anak bangsa, ini telah memberikan payung hukum. Seiring dengan perkembangan dinamika jaman yang semakin banyak menimbulkan masalah dan tafsiran-tafsiran baru, harus senantiasa melakukan perubahan, penyempurnaan, bahkan membuat peraturan baru demi melindungi hak-hak dan kewajiban setiap perorangan, organisasi, lembaga, industri film dan pemerintah. Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman di Bab 2 pasal 2 dalam asas, visi, misi, dan fungsi bahwa Penghormatan atas hak dan kewajiban serta kepastian dan persamaan hukum.

Tim perumus yang terdiri himpunan perfilman terkait, sewajarnya merevisi pasal-pasal yang menimbulkan penafsiran yang sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini. Dengan fleksibilitas RUU perfilman secara aktif melakukan adaptasi setiap perubahan akan lebih memberikan harapan cerah ke arah pertumbuhan yang sehat dan dinamis. Revisi-revisi dan penambahan fasal merupakan bagian upaya pelestarian film kita sebab sama saja dengan menjaga keberlangsungan karya seni dan budaya bangsa. Melindungi tindakan monopoli, memberikan ruang kebebasan berekspresi, memberikan jaminan hukum, memberikan batasan, wilayah yang jelas dalam kerangka pelaksanaanya.

Tidak lupa pula, peran serta pemerintah dalam mensuburkan iklim perfilman di tanah air. Dengan tidak menghambat daya kreativitas, memberikan rambu-rambu peraturan dalm mempermudah proses perijinan pembuatan film artinya prosedure tidak berbelit-belit. Tidak mempolitisir kebijakan undang-undang perfilman seperti UU no 8 tahun 1992. Biarlah perkembangan film berjalan secara sehat, kompetitif dan independent. Tim perumus harus mengadopsi semua kepentingan dalam penyusun draft RUU perfilman. Mereka dari organisasi yang berkecimpung di dunia film seperti Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), Karyawan Film dan Televisi (KFT), Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Gabungan Studio Film Indonesia (GASFI), Persatuan Perusahaan Film Keliling Indonesia (PERFIKI), Asosiasi Industri Rekaman Video Indonesia (ASTREVI) dan organisasi profesi perfilman lain. Bila ini berjalan secara sinergi maka tentunya pendapatan pemerintah dari film ini akan menambah devisa negera. Sekaligus adanya pengontrolan dari hasil pajak yang harus di gunakan untuk perkembangan film nasional.