Sabtu, 25 Desember 2010

pemain film in the love mihrab

Satu lagi film Indonesia bertema religi yang akan meramaikan dunia perfilman Indonesia ditengah maraknya film bertema horor yang mayoritas mengumbar seksualitas. Film ini berjudul 'Dalam Mihrab Cinta' atau DMC yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El Shirazy atau akrab dipanggil Kang Abik, yang juga merangkap sebagai sutradara film ini. Para pemain utama film 'Dalam Mihrab Cinta' ini antara lain Dude Harlino, Asmirandah, Meyda Sefira dan Boy Hamzah. Film 'Dalam Mihrab Cinta' ini siap tayang di bioskop mulai tanggal 23 Desember 2010. Sementara untuk syutingnya sudah dimulai sejak tanggal 21 September 2010 dan selesai tanggal 5 November 2010.
Dalam film 'Dalam Mihrab Cinta' atau DMC yang diproduksi Sinemart ini, Dude Harlino memerankan tokoh Syamsul, yang harus dibotaki kepalanya karena dituduh mencuri di pesantren. "Saya harus botak. Botak abis. Karena kata kangAbik (Habiburrahman El Shirazy) salah satu hukuman di Pesantren awalnya adalah dicukur abis, baru diusir dari pesantren. Dari awal saya memang sudah diingatkan akan dibotakin. Saya bilang ga apa-apa lah, karena saya juga sudah membaca noveletnya. Malah menurut saya itu akan menambah nilai dramatis dari cerita ini," jelas Dude.
Menurut Dude, film 'Dalam Mihrab Cinta' ini adalah sebuah karya besar yang bisa dinikmati dalam waktu yang panjang. "Kita bukan bikin sesuatu yang kecil di sini, tetapi karya besar. Dan karya ini bukan hanya akan dinikmati tahun ini, tapi insya Allah untuk tahun-tahun berikutnya juga. Dan mungkin selama hidup saya. Jadi kenapa harus setengah-setengah. Kemudian ya itu tadi perubahan-perubahan karakter Syamsul dari yang baik-baik, sampai yang antagonis sekali, lalu kembali ke jalan yang benar karena nekad," Papar Dude.
Berikut ini adalah daftar lengkap nama-nama artis pemain film 'Dalam Mihrab Cinta' :
* Dude Harlino berperan sebagai Syamsul Hadi
* Asmirandah berperan sebagai Silvie
* Meyda Sefira berperan sebagai Zizi
* Tsania Marwah berperan sebagai Nadia
* Boy Hamzah berperan sebagai Burhan
* El Manik berperan sebagai Pak Bambang
* Ninik L Karim berperan sebagai Bu Bambang
* Elma Theana berperan sebagai Bu Heru
* Umar Lubis berperan sebagai Pak Broto
* Neno Warisman berperan sebagai istri Kyai Miftah
* Iszur Muchtar berperan sebagai Pak Heru
* Berliana Febrianti berperan sebagai Bu Broto
* Kaharudin Syah berperan sebagai Pak Anwar
* Penampilan khusus : Nabila Chairunnisa
Berikut ini adalah daftar lagu-lagu soundtrack atau OST film 'Dalam Mihrab Cinta' :
* Lagu 'Dalam Mihrab Cinta' dinyanyikan oleh Afgan
* Lagu 'Bunga Bunga Cinta' dinyanyikan oleh Dude Harlino dan Asmirandah
* Lagu 'Karena Hati Bicara' dinyanyikan oleh Oki dan Andi Arsyil
* Lagu 'Aku Tak Berdaya' dinyanyikan oleh Indah Dewi Pertiwi
* Lagu 'Prahara dan Asa' dinyanyikan oleh Rino
* Lagu 'Dalam Mihrab Cinta' (Chamber Version) dinyanyikan oleh Afgan
Dan berikut ini adalah sinopsis atau ringkasan cerita film 'Dalam Mihrab Cinta' :
"Syamsul (Dude Harlino) pemuda 20 tahun-an bertekad menuntut ilmu di sebuah pesantren di Kediri, meninggalkan kehidupannya yang cukup nyaman. Disini ia bertemu dengan Zizi (Meyda Sefira) putri pemilik pesantren yang pernah ditolongnya ketika dijambret di kereta, dimana kejadian tersebut membuat mereka menjadi dekat.
Di pesantren ini Syamsul terusir karena dituduh mencuri akibat fitnah sahabatnya sendiri Burhan (Boy Hamzah). Kemudian karena keluarganya sendiri juga tidak mempercayainya, hingga benar-benar membuat Syamsul menjadi seorang pencopet.
Di tengah kekacauan dan kegelapan hidupnya ini Allah memberikan jalan baginya untuk bertobat dan mempertemukannya dengan Syilvie (Asmirandah) seorang gadis solehah."
Apakah Syilvie nantinya yang akan berjodoh dengan Syamsul ataukah Zizi yang bakal jadi pendamping hidupnya? Jangan lewatkan film 'Dalam Mihrab Cinta', sebuah karya besar Habiburrahman El Shirazy ini yang akan hadir di bioskop mulai tanggal 23 Desember 2010.
(Opung)

foto film terbaru

love in perth

Sinopsis

Lola (Gita Gutawa), cewek 16 tahun, mendapatkan beasiswa di sebuah high school terkenal di kota Perth, Australia. Lola tak pernah menyangka bahwa Perth akan mengubah hidupnya. Dimulai dari teman satu apartemennya yang kemudian menjadi cewek yang paling membenci Lola, bernama Tiwi (Michella Putri); teman baru bernama Ari (Petra Sihombing); sampai… seorang cowok bernama Dhani (Derby Romero).
Dhani, murid senior, tajir dan keren. Hubungannya dengan Lola seperti anjing dan kucing, lalu kemudian berubah menjadi teman dekat Lola hingga bahkan membuat Lola jatuh cinta.
Namun ketika mereka bertambah dekat dan Lola mulai mencintai Dhani, Dhani justru mengecewakannya. Sikap Dhani, kesombongannya, keegoisannya, semua perbuatannya hanya untuk memanfaatkan Lola demi kesenangannya sendiri, menyebabkan Lola gagal dalam pelajaran. Lola terlalu sibuk mengurus Dhani sementara Dhani terlalu sibuk mengurus dirinya sendiri. Lola pun memutuskan menjauhi Dhani, ketika kemudian Ari yang mulai jatuh cinta pada Lola.
Di saat kerenggangan hubungan itu, Dhani mulai merindukan Lola dan menyadari bahwa sebenanrnya ia mencintai cewek itu. Tapi sekarang sudah ada Ari.
Lola harus memilih. Ari atau Dhani, untuk menemukan cinta sejatinya di sebuah kota bernama Perth.[1]

[sunting] Pemeran

top ten

Seperti halnya musik, perfilman kita beberapa tahun belakangan ini memang sudah dapat disebut sebagai tuan rumah di rumah sendiri. Jika sebelumnya penonton kita hanya membanjiri bioskop yang memutar film-film box office asal negeri Paman Sam, maka kini, antusiasme penonton terhadap film-film karya sineas negeri sendiri telah sampai kedalam tahap yang menggembirakan.
Berikut ini daftar film terlaris sepanjang tahun 2010:
1          Sang Pencerah – 1.094.229 penonton
2          18+ : True Love Never Dies – 512.973 penonton
3          Menculik Miyabi – 447.453 penonton
4          Tiran (Mati di Ranjang) – 418.347 penonton
5          Satu Jam Saja – 400.000 penonton
6          Akibat Pergaulan Bebas – 399.480 penonton
7          Alangkah Lucunya (Negeri Ini) – 389.136 penonton
8          Red Cobex – 382.417 penonton
9          Rumah Dara – 379.247 penonton
10        Lihat Boleh, Pegang Jangan – 368.829 penonton
Jumlah di atas diambil dari PPFI (Persatuan Pengusaha Film Indonesia), produser film dan sumber-sumber lainnya. Semoga tahun 2011 perfilman kita lebih semarak, baik dari segi jumlah penonton, maupun dari segi jumlah film. (Ejha Rawk)

unsur "tiiiiiiiit" (sensor) pada film indonesia

Film nasional kembali berjaya. Namun, film-film Indonesia yang kini beredar justru bertema horor dan dibumbuhi adegan seks.
Film horor yang menyerempet pornografi ini menjadi topik serius dalam Yahoo!Answers, Jumat 29 Januari 2010. Sebagian besar pembaca menilai film Hantu Puncak Datang Bulan tidak layak ditayangkan.
Bimra, misalnya, dia menilai film horor yang saat ini beredar telah menunjukkan kurang kreatifnya orang Indonesia.
“Maunya modal dikit tapi untung banyak. Coba lihat tentang mau hadirkan Miyabi di film Indonesia dulu. Kenapa nggak ngundang Jackie Chan, atau yang lainya kok malah bintang porno. Itu kan menunjukan kurang kreatif dan pingin ngrusak moral bangsa. Daripada MUI ngurusin haramnya rokok dan foto prewedding, mending ngurusin film indonesia ini. Coz meskipun ada tulisan untuk 18+ tapi yang nonton anak 12 tahun juga boleh masuk. Kayak halnya ke diskotik juga sama.”
Hamong juga berpendapat sama. Menurutnya, film Hantu Puncak itu hanya bermodal serem saja.
“Untuk lebih menarik ditambah unsur porno. Itulah kemampuan perfilman Indonesia. Saya nggak tau, apa karena kurang modal, atau gak punya daya khayal atau memang orang indonesia yang masih dangkal.”
Kritikan juga datang dari Rita. Menurutnya, film nasional saat ini tidak mendidik generasi muda.
“Ini sangat tidak mendidik generasi muda yang akan menjadi pemimpin kelak. Akibatnya akan menghancurkan pemerintahan sendiri.”
Suryo menyatakan, film-film horor saat ini biasa-biasa aja. Tak lebih hanyalah hiburan yang disajikan sedemikian rupa untuk menyenangkan penonton aja.
“Tapi kalo sudah berbau pornografi tuh lain ceritanya. Itu sudah tidak mendidik dari segi moral, dan dilarang oleh agama tentunya. Lebih-lebih kalau yang nonton anak-anak di bawah umur, wah bahayanya besar tuh. Doain aja yah mudah-mudahan semua produser yang membuat film-film horor yang berbau pornografi ditegur oleh TUHAN dan segera bertaubat,…amiin…”
Imron juga menilai perfilman Indonesia kembali merosot tajam.
“Entah kekurangan ide untuk membuat sebuah film yang inspiratif atau entah tingkat libido para pembuat film kelewat batas atau juga karena sebagian artis kita gemar ber-eksibisme alias puas jika tubuhnya dieksploitasi ke publik, atau memang negeri ini lagi sakit, publiklah yang secara cerdas dan bijak menilai”
Meski demikian, tidak semua pembaca mengecam film horor yang saat ini beredar. Rofio misalnya, dia menilai film horor yang saat ini ada belum melewati batas-batas asusila. “Intinya masih aman-aman saja.”
Bulet Terong pun menilai, bahwa semua tergantung pada cara pandang dan cara pikir kita masing-masing sebagai pribadi yang bermoral.
“Sebenarnya, kita sebagai “bangsa tuan” bisa memilih sendiri apa yang pantas dan tidak pantas kita pakai, tonton, keenakan.
“Bukankah kita sudah merdeka, sehingga tidak perlu diatur oleh orang lain??? Nah kalau masing-masing dari kita sudah merasa dirinya adalah “bangsa tuan”, maka pribadi kita sudahlah pasti dapat memilih apa yang kita rasa cocok dan baik untuk kita. Sehingga bukan lagi MUI atau apalah namanya yang harus menentukan apa yang boleh kita pakai, kenakan, tonton dan sebagainya. Tetapi tiap individu tahu apa yang semestinya mengisi otak dan hatinya sendiri dan keluarganya.” (vivanews)

perkembangan film indonesia

Perkembangan film Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cukup menggembirakan setelah sempat mengalami kematian suri, kata pengamat film dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Zein Mufarrih Muktaf. "Film Indonesia kini semakin berjaya di dalam negeri. Secara kuantitas, jumlah film Indonesia yang diproduksi dari tahun ke tahun cukup signifikan kenaikannya," katanya menanggapi perkembangan film Indonesia, di Yogyakarta, Kamis. Namun, menurut dia, banyaknya film Indonesia yang muncul itu akhirnya menyebabkan kecenderungan kesamaan tema dan alur cerita. Akhir-akhir ini, film-film Indonesia terjebak pada tema percintaan dan horor. "Di tengah keseragaman tema tersebut, film indie dapat menjadi sebuah tontonan alternatif di antara film-film komersial yang ada," katanya. Ia mengatakan, dengan kemajuan teknologi informasi seperti sekarang, perkembangan film indie mengalami kemajuan secara signifikan dalam kuantitas, meskipun masih juga diperlukan perbaikan.

"Perkembangan tersebut karena teknologi yang semakin murah dan mudah didapatkan. Kini semua orang dapat dengan mudah mengakses video, program editing atau penyuntingan juga banyak yang bisa didapatkan secara cuma-cuma," katanya. Menurut dia, banyaknya penyelenggaraan festival film di Yogyakarta adalah salah satu bukti pesatnya perkembangan film indie. "Komunitas film indie juga luar biasa antusias menyambut festival semacam itu. Film-film indie keluaran Yogyakarta juga patut dibanggakan secara kualitas," katanya. Ia mengatakan, film dibagi menjadi dua kategori, yakni film yang merupakan seni untuk seni dan film yang merupakan seni untuk khalayak atau pasar. Film indie termasuk dalam kategori seni untuk seni, bukan seni untuk khalayak atau pasar. Film indie itu film yang independen dan dapat menyuarakan apa yang diinginkan tanpa harus "embel-embel" tuntutan pemilik modal sehingga lebih jujur menyampaikan sesuatu. Menurut dia, jika dapat dimanfaatkan dengan baik, film bisa menjadi salah satu sarana terbaik dan paling efektif untuk menyampaikan pesan. "Melalui film, orang akan merasa terhibur sehingga dalam kondisi senang itu akan membuatnya lebih mudah dalam menerima pesan yang terkandung di film tersebut," katanya.(Mic/Ant)

fiLm's OpiNion

Genre film tertentu yang terlalu dominan dewasa ini sekaligus tidak membawa pesan yang membangun sebaiknya di kurangi dengan ajakan-ajakan edukatif. Menggiring tontonan seperti ini tentu perlu pendekatan yang serius dan membumi. Janganlah ditambah atau dipersulit bangsa ini dengan nilai-nilai yang kurang mumpuni, bawalah alam pemikiran mereka kepada sikap-sikap positif. Setidaknya film sendiri menjadi alat bantu pemerintah untuk mamajukan pendidikan mental dan spiritual tidak hanya melalui formal atau agama.

Dinamika film Indonesia adalah perubahan. Sifat menutup diri dari kritik, perundangan yang sudah usang, peraturan yang statis tidak fleksible harus senantiasa mengalami revisi seiring dengan perubahan yang cepat. Ada pepatah bijak mengatakan “ Bersiap-siaplah di telan jaman jika kita tidak dinamis”. Sikap-sikap seperti inilah harus menjadi referensi bagi seluruh elemen perfilman negeri ini.

Janganlah sejarah polemik insan film dengan pemerintah atau badan/lembaga terkait menjadikan kemunduran film bangsa ini. Biarlah waktu yang menentukan dan biarlah itu menjadi pendewasaan pemikiran. Harapan kedepan akan cerahnya film Indonesia masih terbuka lebar. Sumber daya manusia tidak pernah kering di negeri ini hanya penanganan dan sistim yang benar akan menumbuhkan harapan-harapan baru.

FFI dan penghargaan merupakat apresiasi tertinggi di dunia film Indonesia. Pertama kali diadakan di tahun 1955 dan Piala citra sebagai puncak kebanggaan para insan film di kancah yang paling bergensi di negari ini. Faktanya banyak kegelisahan dan kemelut dalam kinerja sistim di tubuh FFI masih mengundang polemik bahkan sampai dewasa ini. Terakhir film Ekskul di nobatkan sebagai peraih film kategori terbaik. Kontan banyak terkejut, para sineas muda mempertanyakan sistim penjurian. Mirip ketika generasi Usmar Ismail yang kala itu karyanya berjudul Lewat Djam Tengah Malam tidak meraih penghargaan kategori Sutradara terbaik.

Film ini dianggap ‘menggangu’ karena sifatnya mengkritik pemerintahan yang korup pasca perang revolusi. Karena banyak pengetatan aturan serta monopoli pada zaman orde baru. Pembungkaman corong politik sangat tabu diangkat ke layar lebar. Sehingga mematikan daya kreativitas, serta pemasungan berbicara di ranah tersebut sangat dilarang. Mungkin banyak film-film independen bawah tanah masih eksis tetapi tidak nampak ke permukaan. Sungguh tragis nasib film kita dewasa itu. Disamping atmosfir waktu itu tidak banyak membantu mencipta karya layar perak. Hanya sebagian film yang mendukung pemerintah atau tidak menyinggung hal sensitif.


Kemudian kurang harmonisnya para insan film dengan badan/lembaga perfilman nasional seperti BP2N, Lembaga Sensor Film (LSF) yang semuanya bemuara pada UU no 8 tahun 1992. Banyak persoalan-persoalan mengemuka ke publik mulai dari sistim kinerja FFI, pemotongan scene film. Mungkin banyak kepentingan turut campur dan terlibat sangat jauh. Sejauh ini memang terdapat tarik ulur secara policy, dan tampaknya titik temu masih jauh dari harapan. Barangkali semua masalah yang meliputi negeri perlu waktu, energi, dan biaya untuk tahap kemapanan dan stabil. Tetapi kadang timing yang tidak tepat. Minimal harus ada moral tanggung jawab terhdap kelangsungan perfilam Indonesia dengan tidak di tunggangi muatan politis.

Sudah saatnya lupakan permasalahan rumit nan pelik tadi. Masih banyak contoh bahwa tanpa atau dengan itu banyak potensi yang masih di kembangakan tanpa perlu melibatkatkan diri dalam permasalah di lihat dari segi masyrakat awam. Karena pergeseran baik berupa nilai, estetika, dan pandangan yang dinamis, tentu kebijakannya harus memberikan ruang dialog yang lebih luas demi kemajuan film tanah air. Bahkan boleh jadi ukuran-ukuran apresiasi film sangatlah subjektif. Apakah itu FFI, JIFFEST, FFJ atau penghargaan-penghargaan baik dari instansi pemerintah maupun non pemerintah secara independen, toh pada akhirnya masyarakatlah yang memilih tergantung pada tingkat kedewasaan pemahaman mereka terhadap film.

Masih hangat permasalahan undang-undang media pers sempat menjadi polemik nasional. Anggota legislatif dan komisi penyiaran harus merevisi setelah adanya masukan dari media cetak dan televisi. Gesekan perbedaan paling sering mengemuka adalah masalah batasan mengenai wilayah eksistensi dari ekspresi kebebasan . Sering kali benturan dengan lembaga sensor baik itu dari media pers maupun film. Penulis sekaligus sutradara Asrul Sani di tahun 1992 pernah mengatakan bahwa lembaga sensor sudah saatnya ‘ diperbaharui’ karena sudah tidak bisa menampung masalah perkembangan intelektual yang semakin kompleks. Beliau memberikan alternatif solusi dengan memberikan sepenuhnya kedalam bentuk diskusi atau dialog secara demokrasi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, pemerintah, insan film, media, pembuat dan distributor bersama-sama ikut bertanggung jawab dalam menciptakan kemaslahatan kehidupan film.

Seandainya RUU perfilman seperti yang telah dikemukakan diatas perlu adanya penyempurnaan, kenapa tidak. Tentunya dengan revisi akan mempermudahan penyelenggaraan bukan menambah masalah baru.

Sesungguhnya, secara legal dan badan, lembaga, asosiasi, dan unsur-unsur terkait dalam kecintaan mewarisi dan melindungan harta hasil karya-karya seni anak bangsa, ini telah memberikan payung hukum. Seiring dengan perkembangan dinamika jaman yang semakin banyak menimbulkan masalah dan tafsiran-tafsiran baru, harus senantiasa melakukan perubahan, penyempurnaan, bahkan membuat peraturan baru demi melindungi hak-hak dan kewajiban setiap perorangan, organisasi, lembaga, industri film dan pemerintah. Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman di Bab 2 pasal 2 dalam asas, visi, misi, dan fungsi bahwa Penghormatan atas hak dan kewajiban serta kepastian dan persamaan hukum.

Tim perumus yang terdiri himpunan perfilman terkait, sewajarnya merevisi pasal-pasal yang menimbulkan penafsiran yang sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini. Dengan fleksibilitas RUU perfilman secara aktif melakukan adaptasi setiap perubahan akan lebih memberikan harapan cerah ke arah pertumbuhan yang sehat dan dinamis. Revisi-revisi dan penambahan fasal merupakan bagian upaya pelestarian film kita sebab sama saja dengan menjaga keberlangsungan karya seni dan budaya bangsa. Melindungi tindakan monopoli, memberikan ruang kebebasan berekspresi, memberikan jaminan hukum, memberikan batasan, wilayah yang jelas dalam kerangka pelaksanaanya.

Tidak lupa pula, peran serta pemerintah dalam mensuburkan iklim perfilman di tanah air. Dengan tidak menghambat daya kreativitas, memberikan rambu-rambu peraturan dalm mempermudah proses perijinan pembuatan film artinya prosedure tidak berbelit-belit. Tidak mempolitisir kebijakan undang-undang perfilman seperti UU no 8 tahun 1992. Biarlah perkembangan film berjalan secara sehat, kompetitif dan independent. Tim perumus harus mengadopsi semua kepentingan dalam penyusun draft RUU perfilman. Mereka dari organisasi yang berkecimpung di dunia film seperti Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), Karyawan Film dan Televisi (KFT), Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Gabungan Studio Film Indonesia (GASFI), Persatuan Perusahaan Film Keliling Indonesia (PERFIKI), Asosiasi Industri Rekaman Video Indonesia (ASTREVI) dan organisasi profesi perfilman lain. Bila ini berjalan secara sinergi maka tentunya pendapatan pemerintah dari film ini akan menambah devisa negera. Sekaligus adanya pengontrolan dari hasil pajak yang harus di gunakan untuk perkembangan film nasional.

pandangan masyarakat about our filem

Pandangan apresiasi masyarakat sangatlah beragam terhadap film. Sangatlah mudah dijawab karena tingkat pendidikan, dikutip dari Riri Reza dalam suatu wawancara dengan sebuah majalah. Sangatlah wajar bila masyarakat masih meminati film tertentu butuh edukasi waktu yang panjang dan melelahkan. Setidaknya perlu adanya pendekatan persuasif dari berbagai elemen masyarakat, budayawan, insan-insan perfilman, pemerintah serta lembaga-lembaga terkait. Pelatihan-pelatihan atau couching clinic ke sekitar kampus dan sekolah, pernyelenggaraan Jiffest, Ganesha Film festival merupakan bagian pijakan yang benar kearah meleknya masyarakat terhadap bagaiman proses pembuatan film, seni peran, sinematogafi berserta unsur apresiasi dunia film.

Peran masyarakat mempunyai hak yang sama untuk ikut berperan serta dalam memelihara, mengembangkan, memajukan dan mengawasi perfilman Indonesia. Pernyataan publik berupa kebijakan demi keberlangsungan dan kemajuan perjalanan film ke depan lebih cerah, sense belonging bergerak menuju keselarasan dengan tentunya tidak untuk mematikan daya kreatifitas anak-anak bangsa ini dalam berkarya menciptakan demi keharmonisan keselarasan bangsa ini dengan haus ‘ spriritualistis’.

Hal ini di tunjang dengan meleknya rakyat Indonesia terhadap information technology kemudian bermunculan forum atau komunitas film independent menjamur, ada sekitar delapan puluh komunitas film tersebar di dunia maya. Sebut saja komunitas ini tersebar di berbagai kota seperti filmalternatif.org, rumahfilm.org, jiffest.org, masyarakatfilmindonesia. wordpress.com, dan masih banyak lagi. Hebatnya lagi sebagian komunitas film ( kineruku, kinoki, arisan forum) menerbitkan jurnal untuk mengkaji dan mengangkat tema-tema masalah film Indonesia.

Tidak hanya itu saja, terjun aktif dalam kegiatan kampanye atau slogan dalam memajukan citra film di seluruh pelosok, yang masih terakumulasi di perkotaan besar saja dewasa ini. Komunitas-komunitas secara independen mengadakan diskusi-diskusi aktif mengenai isu-isu film Indonesia. Hal ini berkat kemajuan teknologi Informasi sehingga masyarakat di manapun bisa mengakses informasi dengan dialog interaktif yang melekatkan antara mayarakat awam, penikmat film, dan para insan perfilman. Timbal balik ini setidaknya memperkuat dan menjawab permasalahan atau problematik seputar film Indonesia.

Kemajuan teknologi telah menjadi bagian terpenting dalam pembuatan film bangsa ini. Produksi film menjadi sangat mudah dan cepat dengan teknologi kamera video digital ditambah dengan kapasitas komputer semakin besar sehingga leluasa beranimasi. Membuka keran selebar-lebarnya bagi amatiran, profesional dalam membuat film. Banyak cerita pendek di ungkap hanya menggunakan camera digital dan HP yang kemudian di upload di internet sehingga bisa dinikmati secara luas.


Perlu proses yang panjang dengan waktu, kesabaran, keringat dari kebiasaan masyarakat menonton yang kurang mendidik ke tema-tema atau polemik yang ada disekitar masyarakat. Sehingga mereka memandang dengan optimistik hidup, toleran, dan berbagi sesama. Bangsa ini telah lama menderita ditambah dengan tayangan yang kurang mendukung cara pandang bahkan terkadang menjual mimpi, di harapkan mampu menonjolkan sisi positif bangsa yang terhormat dengan semangat kebanggan nasionalismne untuk mencintai bangsa sendiri. Citra melekat selama ini mampu dikikis lewat film yang mampu menggugah, inspiratif dengan cara penyajian cerita yang sederhana dan mudah dipahami.

Kampus sebagai wadah akedemisi sekaligus menjadi jembatan interaksi komunikasi antara praktisi dan lembaga perfilman pemerintah, dan masyarakat untuk saling berbagi pengetahuan, workshop, dan ajang apresiasi bisa diberi tempat yang layak didukung. Seperti Ganesha festival film di ITB yang menyelenggaran acara tahunan. Animo publik terutama mahasiswa terbentuknya forum komunitas apresiasi film banyak menambah perbendaharaan dalam urun rembuk problematika film Indonesia. Terkadang kritikan mereka sangat tajam dan lugas. Ini menunjukan bahwa awarenes dunia pendidikan masih eksis dan cenderung independent. Pergulatan pemikiran akademisi tentu banyak menyentuh masalah kebijakan dan peraturan perfilman. Di dasari kepedulian dan keprihatinan besar untuk masa depan sinema negeri ini.

Selektifitas atas tontonan bermutu dan mendokumentasikan adalah bagian dari pelestarian budaya bangsa. Definisi tontonan bermutu bermaksud pada film yang memiliki karakter, nilai, pandangan, ajakan, dan informasi sekaligus hiburan, bukan film sebaliknya. Tipe film ini yang pantas mendapatkan apresiasi setinggi. Meskipun pada pada faktanya tidak setiap film bermutu memiliki daya jual, boleh jadi idelisme bukan komersialisme.

Untuk menyajikan film yang bermutu, workshop merupakan edukasi pengetahuan para sineas muda dalam berkarya sebagai penunjang sebuah kaidah standar film. Christine Hakim berucap dalam sebuah workshop di Bali “Saya berharap akan muncul sutradara berbakat dari aktivitas ini,”. Workshop ini bertujuan mempersiapkan film yang mengangkat isu-isu lingkungan. Tak pelak lagi global warming ikut mewarnai perjalanan film di dunia. Al Gore mantan wakil presiden Amerika Serikat sendiri mengkampayekan ajakan kesadaran terhadap kutub utara yang mengalami pencairan es secara tajam. Tingginya keprihatinan terhadap perusakan alam, membawa dia mendapat hadiah Nobel.

film kitaa doeloe...^^

Dimana kita bisa menikmati film-film dulu ?. Masih bisa kita tontonkah film gambar-gambar idoep ? Sebuah film dokumenter pertama yang di putar 5 desember 1900 di Tanah Abang sebelah toko mobil. Berisi tentang peristiwa di Eropa dan Afrika. Dimana film ini dipromosikan oleh harian Bintang Betawi. Tentu sangat sulit, hal ini ditegaskan oleh antropolog berujar bahwa “film Indonesia yang paling tua yang masih bisa ditonton adalah Enam Djam di Djogja (1951, Usmar Ismail).” Keterbatasan dan kurangnya program-program perlindungan nilai sejarah film nasional.

Ini menyangkut sistim dokumentasi, sebenarnya ada wadah yang mengelola bernama Sinematek Indonesia, lahir 20 Oktober 1975 bertempat di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Jakarta bertujuan menyimpan arsip. Inilah cikal bakal arsip film pertama di Asia tenggara dan telah terdaftar bergabung dengan FIAF (Federation Internasionale des Archives du Film), dan merupakan arsip pertama di Asia yang tergabung dalam asosiasi internasional.

Perawatan film seperti biasa kurang mendapatkan perhatian sehingga kerusakan tak terhindari. Alasan klise, masalah biaya maintainance dan kurang dukungan. Selama waktu itu Sinematek Indonesia masih mendapat dana dari Pemda DKI karena berdirinya bersama di keluarkanya SK guberbur DKI, Ali Sadikin. Setelah masa jabatan berakhir berakhir pula subsidi yang pada akhirnya diteruskan dengan mendirikan yayasan sebagai donatur dengan nominal dan instrument yang serba terbatas. Wajar bila banyak dokumentasi terbengkalai dan mulai rusak. Ungkapan kesedihan Salim Said dalam Pantulan Layar Putih, dimana sebagian film revolusi telah musnah dan hancur. Yang tersisa hanyalah guntingan koran, majalah, sinopsis film-film tersebut. Bahkan film monumental Tjoet Njak Dhien, Pareh, Terang Boelan, Antara Bumi dan Langit, Yang Muda Yang Bercinta, bahkan tidak kita jumpai di tempat itu.

Upaya mencegah kehancuran fatal telah banyak melalui kampanyenya kineforum Menolak Hilang Ingatan, idenya agar masyarakat tidak lupa akan filmnya sendiri dengan menggalang dana bisa lewat konser musik dengan cara yang unik dengan membuat album lagu, dimana diselipkan potongan film-film tempo dulu. Seperti pernyataan dari grup musik white shoes & the couples company yang beranggotakan berbasis IKJ “Album ini sangat, banget, terinspirasi oleh film-film nasional tempo dulu, seperti Tiga Dara, Asrama Dara, dan Ambisi. Di film-film itu, musik dengan film sangat dekat. Album ini kami buat dengan konsep sangat filmis, seperti soundtrack. Ada potongan dialog-dialog film yang dimasukkan (sebagai jembatan antara satu lagu dengan lagu berikutnya),"

Pemberdayaan lembaga atau komunitas bermotif pada pelestarian arsip film-film nasional, tidak hanya pada pusat kekuasaan saja. Tetapi harus merata di dearah atau pelosok negeri ini. Budaya lokal harus dijadikan aset berharga bagi informasi kepustakaan sekaligus kemandirian pemerintah daerah dalam meningkatkan kepedulian dan wawasan masyarakat setempat akan film. Tataran Sunda mengawalinya dengan film lokal pertama di tahun1926 berjudul Loetoeng Kasaroeng mengambil shooting di lokasi Padalarang dan diproduksi NV Java Film. Diperankan oleh anak bupati Bandung, lalu diputar di bioskop Majestic, yang sampai sekarang masih berdiri. Setahun kemudian diikuti film Eulis Atjih (Poetri Jang Tjantik dari Bandoeng), diputar di Bandung pada Agustus 1927. Sedangkan film kontemporer, budaya minang diangkat Riri Riza dalam film Eliana Eliana, Opera Jawa oleh Garin Nugroho.

Penyusunan atau daftar katalog film Indonesia yang diperoleh dari riset dan penelitian masih mendapat kendala dan belum ‘membumi’. Masih dalam tarap menempatan posisi atau eksistensi sebagai penyelamatan film nasional. Pandangan melihat penelitian sebagai kurang menguntungkan secara financial. Akhirnya kesenjangan informasi secara akurat dan detail sejarah film nasional sangat minim. Sangatlah wajar dan mendesak segera mengembangkan lembaga riset & penelitian film Indonesia sebagai bagian dari pelestarian karya seni layar lebar. Bisa dibuktikan sedikit tulisan ilmiah atau literatur secara sistematis sebagai sebuah buku, majalah, dan media lainya mengenai film Indonesia.Tengok saja di rak-rak toko buku apakah mudah mendapatkan informasi film?. Sudah saatnya pergerakan yang sifatnya melestarikan dan melembagakan segala informasi harus digalakan dan didukung oleh semua pihak. Agar kesalahan atau dosa sejarah tidak terulang lagi.

Membuka lembaran halaman buku lawas ibaratnya melihat sejarah film zaman dulu di jaman ini gampang-gampang susah. Mencari barang yang usang hanya mampir di museum-museum sejarah untuk menjaga kerusakan yang fatal. Boleh jadi itu hanya menjadi kenangan orang tua kita belaka. Begitulah kenyataan bila mencari karya-karya terdahulu dari para maestro sineas Indonesia. Bisa dikatakan alasan dengan mudah, bahwa teknologi dahulu berbeda format dengan sekarang. Bayangkan untuk merawat film perlu ruang penyimpanan film, bertemperatur 5 - 7 derajat Celcius dengan kelembaban 45% - 60% RH. Dalam kondisi ini film bisa dilestarikan sampai sekitar 50 tahun untuk film berwarna, 100 tahun untuk film hitam putih. Untuk bisa mempertahankan film berwarna hingga berusia 100 tahun temperaturnya harus 0 derajat Celcius dengan kelembaban ruang sekitar 40% RH. Cool storage serupa itu 'impiannya' akan dibangun di luar kota yang memiliki temperatur tidak sepanas Jakarta. Itu untuk menyimpan film arsip. Sedang ditempat yang sekarang hanya untuk menyimpan copy putar (screening copy).

Penggunaan program komputerisasi sebagai database katalog koleksi film, buku dan dokumentasi. Dengan adanya program ini diharapkan pengunjung mempermudah mencari data/informasi yang diperlukan. Dalam sistim dokumentasi dewasa ini orang dengan mudah menggandakan sebuah film dalam hitungan detik dalam sebuah compact disk ditambah dengan kapasitas VCD (700 MB), DVD (4,2 GB), dan teknologi DVD Blue-Ray (25 GB) bisa menyimpan sepuluh film.

dimana film indonesia ditempatkan??

Perfilman Indonesia : Sudahkan mendapat tempat di negeri ini? Sudahkah menjadi tuan dinegerinya sendiri ? Kedua pertanyaan tadi nampaknya masih sangat relevan dan signifikan menyangkut catatan sejarah panjang perfilm di Indonesia. Pernah mengalami mati suri.

Tak dapat dipungkiri ini menjadi awal sebuah dinamika kultur masyarakat Indonesia yang disebutkan perfilman bangsa ini telah mati suri selama sebelas tahun. Kebangkitan ini dimulai di tahun 1997 dengan hadirnya film Kuldesak yang dimotori sineas-sineas muda yang menamakan dirinya gerakan Sinema Independent mereka adalah Riri Reza, Mira Lesmana, Nan Achnas, Shanty Harmayn, Rizal Mantovani

Banyak pertanyaan muncul seputar rendahnya ‘spirit’ film Indonesia saat itu dari isi materi, dukungan pemerintah, serta lesunya animo penonton . Terbilang Film-film yang beredar seputar yang berbau horror dan film dewasa Sundel Bolong . Mungkin ini formula paling baku untuk menarik animo penonton. Meskipun faktanya film bergenre horror ini mengalami “reinkarnasi” dari segi metode pembuatan, kamera, animasi, pemain film dewasa ini.

Survey skala rating penonton TV terhadap tayangan-tayangan mistis sempat mengungguli sinentron, walaupun sempat mendapat reaksi keras dari kalangan masyarakat dan pemerintah. Mungkin ini pula yang menjadi alasan masih mewarnai film negeri ini disamping alasan komersil.

Bagaimana tidak persentase film ini tergolong banyak beredar di pasaran dibandingkan film yang mengangkat tema-tema kultur etnis seperti Ca Bau Kan atau film katagori festival yaitu Pasir Berbisik, Opera Jawa atau film-film bertemakan isu yang berkembang di masyarakat.

Walaupun ini tak sepenuhnya benar, bagaimana tidak Petualangan Sherina (1999) mampu menarik dan mencuri hati para penonton. Terbilang film musikal dengan kisah yang mengangkat suatu keluarga yang pindah dari suatu komunitas kota ke desa. Dimana citra budaya kota yang biasa diterima Sherina munaf ( pemeran/tokoh utama ) harus mengalami perubahan dan benturan adaptasi budaya ketika alam berubah di lingkungan pedesaan. Dengan tema yang sangat sederhana dan mudah dicerna oleh semua kalangan, disini Riri Riza sangat berhasil dan patut mendapatkan apresiasi di tengah kelesuan film nasional.

film kitaa..^^

Film yang baik merupakan media komunikasi, menghubungkan gambaran masa lampau dengan sekarang dan mencerdaskan dan mencerahkan bangsa karena memberikan nilai-nilai keberagaman terkandung didalamnya seperti sarana penerangan atau informasi, pendidikan, pengekspresian seni . Film juga mendiskripsikan watak, harkat, dan martabat budaya bangsa. Sekaligus sebagai memberikan manfaat dan fungsi yang luas bagi bidang ekonomi, sosial dan budaya. Film tidak hanya semata menonjolkan unsur hiburan semata, tetapi lebih kepada tanggung jawab moral untuk mengangkat nilai nasionalisme bangsa dan jati diri bangsa yang berbudaya.

Dengan menambahkan unsur hiburan, artistik, digital teknologi dan kemasan yang menarik apresiasi penonton. Film sekarang ini sudah menjadi komuditas menguntungkan. Tak jarang perusahaan ‘menyentuh’ media ini dalam iklan produk guna mengangkat penjualan.

Naga Bonar (1986) merupakan contoh unik dan mewakili gambaran, bagaimana sebuah nilai atau pesan yang diangkat di kemas dalam bentuk sederhana tanpa memerlukan pemikiran dan diskusi panjang. Cukup dengan seorang kisah bernama Naga Bonar yang mempunyai karakteristik tipikal budaya Medan tetapi mempunyai obsesi kebangaan terhadap diri sebagai panglima jendral besar yang siap kapan saja berjuang demi mengusir penjajah pada waktu itu. Dialog-dialog terkesan unik khas orang batak, penuh humor segar. Memang karakter ini susah untuk dicari pengganti sekelas Dedi Mizwar. Tak pelak lagi sekuel Naga Bonar Jadi Dua pun menjadi tontonan segar dan menarik dengan format modern tetapi tidak kehilangan jati dirinya.

Tak hanya di situ tetapi film juga sebagai penyampai pesan moral, informatif, sejarah maupun solusi atas tema-tema yang berkembang di masyarakat. Di hari jadi sebuah tabloid ibukota yang meliput film terbaik dan terlaris yang menjadi benang merah antara masa lampau dan sekarang, seorang mantan wartawan film berkomentar bahwa film Lewat Djam Malam (1954) karya Asrul Sani sebagai film terbaik dari segi sinematografi maupun sosial karena mengangkat tema korupsi setelah perang revolusi usai. Ini masih relevan dengan kondisi pemerintahan saat ini dalam menumpas pemberantasan korupsi. Terkadang masyarakat mencari jawaban secara jelas lewat film karena lebih hidup dari pada sekedar debat kusir ditambah dengan standar kaidah sinematografi akan menambah kuatnya pesan yang akan disampaikan.

Tetapi yang terpenting dari semua itu bagaimana film bisa dijadikan alat atau media informasi, pendidikan, alternatif gagasan/idea bagi banyak manfaat bagi masyarakat. Setiap sugguhan tayangan berbobot bisa diterima dengan cara pandangan sederhana, setidaknya bisa membawa pandangan baru berupa nilai-nilai tersirat atau hiburan semata. Kasus film yang mengundang pandangan tersebut dari hal isu paling sensitif seperti poligami yang merupakan problematika sekaligus realita sosio-kultural di masyarakat. Nia Dinata berusaha melakukan pendekatan pandangan tentang poligami di Berbagi Suami. Paradigma sisi feminimisme perempuan coba disinggung, Yang pada akhirnya semua tergantung pada penonton mengenai keberpihakan soal poligami tersebut.