Sabtu, 25 Desember 2010

fiLm's OpiNion

Genre film tertentu yang terlalu dominan dewasa ini sekaligus tidak membawa pesan yang membangun sebaiknya di kurangi dengan ajakan-ajakan edukatif. Menggiring tontonan seperti ini tentu perlu pendekatan yang serius dan membumi. Janganlah ditambah atau dipersulit bangsa ini dengan nilai-nilai yang kurang mumpuni, bawalah alam pemikiran mereka kepada sikap-sikap positif. Setidaknya film sendiri menjadi alat bantu pemerintah untuk mamajukan pendidikan mental dan spiritual tidak hanya melalui formal atau agama.

Dinamika film Indonesia adalah perubahan. Sifat menutup diri dari kritik, perundangan yang sudah usang, peraturan yang statis tidak fleksible harus senantiasa mengalami revisi seiring dengan perubahan yang cepat. Ada pepatah bijak mengatakan “ Bersiap-siaplah di telan jaman jika kita tidak dinamis”. Sikap-sikap seperti inilah harus menjadi referensi bagi seluruh elemen perfilman negeri ini.

Janganlah sejarah polemik insan film dengan pemerintah atau badan/lembaga terkait menjadikan kemunduran film bangsa ini. Biarlah waktu yang menentukan dan biarlah itu menjadi pendewasaan pemikiran. Harapan kedepan akan cerahnya film Indonesia masih terbuka lebar. Sumber daya manusia tidak pernah kering di negeri ini hanya penanganan dan sistim yang benar akan menumbuhkan harapan-harapan baru.

FFI dan penghargaan merupakat apresiasi tertinggi di dunia film Indonesia. Pertama kali diadakan di tahun 1955 dan Piala citra sebagai puncak kebanggaan para insan film di kancah yang paling bergensi di negari ini. Faktanya banyak kegelisahan dan kemelut dalam kinerja sistim di tubuh FFI masih mengundang polemik bahkan sampai dewasa ini. Terakhir film Ekskul di nobatkan sebagai peraih film kategori terbaik. Kontan banyak terkejut, para sineas muda mempertanyakan sistim penjurian. Mirip ketika generasi Usmar Ismail yang kala itu karyanya berjudul Lewat Djam Tengah Malam tidak meraih penghargaan kategori Sutradara terbaik.

Film ini dianggap ‘menggangu’ karena sifatnya mengkritik pemerintahan yang korup pasca perang revolusi. Karena banyak pengetatan aturan serta monopoli pada zaman orde baru. Pembungkaman corong politik sangat tabu diangkat ke layar lebar. Sehingga mematikan daya kreativitas, serta pemasungan berbicara di ranah tersebut sangat dilarang. Mungkin banyak film-film independen bawah tanah masih eksis tetapi tidak nampak ke permukaan. Sungguh tragis nasib film kita dewasa itu. Disamping atmosfir waktu itu tidak banyak membantu mencipta karya layar perak. Hanya sebagian film yang mendukung pemerintah atau tidak menyinggung hal sensitif.


Kemudian kurang harmonisnya para insan film dengan badan/lembaga perfilman nasional seperti BP2N, Lembaga Sensor Film (LSF) yang semuanya bemuara pada UU no 8 tahun 1992. Banyak persoalan-persoalan mengemuka ke publik mulai dari sistim kinerja FFI, pemotongan scene film. Mungkin banyak kepentingan turut campur dan terlibat sangat jauh. Sejauh ini memang terdapat tarik ulur secara policy, dan tampaknya titik temu masih jauh dari harapan. Barangkali semua masalah yang meliputi negeri perlu waktu, energi, dan biaya untuk tahap kemapanan dan stabil. Tetapi kadang timing yang tidak tepat. Minimal harus ada moral tanggung jawab terhdap kelangsungan perfilam Indonesia dengan tidak di tunggangi muatan politis.

Sudah saatnya lupakan permasalahan rumit nan pelik tadi. Masih banyak contoh bahwa tanpa atau dengan itu banyak potensi yang masih di kembangakan tanpa perlu melibatkatkan diri dalam permasalah di lihat dari segi masyrakat awam. Karena pergeseran baik berupa nilai, estetika, dan pandangan yang dinamis, tentu kebijakannya harus memberikan ruang dialog yang lebih luas demi kemajuan film tanah air. Bahkan boleh jadi ukuran-ukuran apresiasi film sangatlah subjektif. Apakah itu FFI, JIFFEST, FFJ atau penghargaan-penghargaan baik dari instansi pemerintah maupun non pemerintah secara independen, toh pada akhirnya masyarakatlah yang memilih tergantung pada tingkat kedewasaan pemahaman mereka terhadap film.

Masih hangat permasalahan undang-undang media pers sempat menjadi polemik nasional. Anggota legislatif dan komisi penyiaran harus merevisi setelah adanya masukan dari media cetak dan televisi. Gesekan perbedaan paling sering mengemuka adalah masalah batasan mengenai wilayah eksistensi dari ekspresi kebebasan . Sering kali benturan dengan lembaga sensor baik itu dari media pers maupun film. Penulis sekaligus sutradara Asrul Sani di tahun 1992 pernah mengatakan bahwa lembaga sensor sudah saatnya ‘ diperbaharui’ karena sudah tidak bisa menampung masalah perkembangan intelektual yang semakin kompleks. Beliau memberikan alternatif solusi dengan memberikan sepenuhnya kedalam bentuk diskusi atau dialog secara demokrasi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, pemerintah, insan film, media, pembuat dan distributor bersama-sama ikut bertanggung jawab dalam menciptakan kemaslahatan kehidupan film.

Seandainya RUU perfilman seperti yang telah dikemukakan diatas perlu adanya penyempurnaan, kenapa tidak. Tentunya dengan revisi akan mempermudahan penyelenggaraan bukan menambah masalah baru.

Sesungguhnya, secara legal dan badan, lembaga, asosiasi, dan unsur-unsur terkait dalam kecintaan mewarisi dan melindungan harta hasil karya-karya seni anak bangsa, ini telah memberikan payung hukum. Seiring dengan perkembangan dinamika jaman yang semakin banyak menimbulkan masalah dan tafsiran-tafsiran baru, harus senantiasa melakukan perubahan, penyempurnaan, bahkan membuat peraturan baru demi melindungi hak-hak dan kewajiban setiap perorangan, organisasi, lembaga, industri film dan pemerintah. Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman di Bab 2 pasal 2 dalam asas, visi, misi, dan fungsi bahwa Penghormatan atas hak dan kewajiban serta kepastian dan persamaan hukum.

Tim perumus yang terdiri himpunan perfilman terkait, sewajarnya merevisi pasal-pasal yang menimbulkan penafsiran yang sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini. Dengan fleksibilitas RUU perfilman secara aktif melakukan adaptasi setiap perubahan akan lebih memberikan harapan cerah ke arah pertumbuhan yang sehat dan dinamis. Revisi-revisi dan penambahan fasal merupakan bagian upaya pelestarian film kita sebab sama saja dengan menjaga keberlangsungan karya seni dan budaya bangsa. Melindungi tindakan monopoli, memberikan ruang kebebasan berekspresi, memberikan jaminan hukum, memberikan batasan, wilayah yang jelas dalam kerangka pelaksanaanya.

Tidak lupa pula, peran serta pemerintah dalam mensuburkan iklim perfilman di tanah air. Dengan tidak menghambat daya kreativitas, memberikan rambu-rambu peraturan dalm mempermudah proses perijinan pembuatan film artinya prosedure tidak berbelit-belit. Tidak mempolitisir kebijakan undang-undang perfilman seperti UU no 8 tahun 1992. Biarlah perkembangan film berjalan secara sehat, kompetitif dan independent. Tim perumus harus mengadopsi semua kepentingan dalam penyusun draft RUU perfilman. Mereka dari organisasi yang berkecimpung di dunia film seperti Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), Karyawan Film dan Televisi (KFT), Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Gabungan Studio Film Indonesia (GASFI), Persatuan Perusahaan Film Keliling Indonesia (PERFIKI), Asosiasi Industri Rekaman Video Indonesia (ASTREVI) dan organisasi profesi perfilman lain. Bila ini berjalan secara sinergi maka tentunya pendapatan pemerintah dari film ini akan menambah devisa negera. Sekaligus adanya pengontrolan dari hasil pajak yang harus di gunakan untuk perkembangan film nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar