Sabtu, 25 Desember 2010

film kitaa..^^

Film yang baik merupakan media komunikasi, menghubungkan gambaran masa lampau dengan sekarang dan mencerdaskan dan mencerahkan bangsa karena memberikan nilai-nilai keberagaman terkandung didalamnya seperti sarana penerangan atau informasi, pendidikan, pengekspresian seni . Film juga mendiskripsikan watak, harkat, dan martabat budaya bangsa. Sekaligus sebagai memberikan manfaat dan fungsi yang luas bagi bidang ekonomi, sosial dan budaya. Film tidak hanya semata menonjolkan unsur hiburan semata, tetapi lebih kepada tanggung jawab moral untuk mengangkat nilai nasionalisme bangsa dan jati diri bangsa yang berbudaya.

Dengan menambahkan unsur hiburan, artistik, digital teknologi dan kemasan yang menarik apresiasi penonton. Film sekarang ini sudah menjadi komuditas menguntungkan. Tak jarang perusahaan ‘menyentuh’ media ini dalam iklan produk guna mengangkat penjualan.

Naga Bonar (1986) merupakan contoh unik dan mewakili gambaran, bagaimana sebuah nilai atau pesan yang diangkat di kemas dalam bentuk sederhana tanpa memerlukan pemikiran dan diskusi panjang. Cukup dengan seorang kisah bernama Naga Bonar yang mempunyai karakteristik tipikal budaya Medan tetapi mempunyai obsesi kebangaan terhadap diri sebagai panglima jendral besar yang siap kapan saja berjuang demi mengusir penjajah pada waktu itu. Dialog-dialog terkesan unik khas orang batak, penuh humor segar. Memang karakter ini susah untuk dicari pengganti sekelas Dedi Mizwar. Tak pelak lagi sekuel Naga Bonar Jadi Dua pun menjadi tontonan segar dan menarik dengan format modern tetapi tidak kehilangan jati dirinya.

Tak hanya di situ tetapi film juga sebagai penyampai pesan moral, informatif, sejarah maupun solusi atas tema-tema yang berkembang di masyarakat. Di hari jadi sebuah tabloid ibukota yang meliput film terbaik dan terlaris yang menjadi benang merah antara masa lampau dan sekarang, seorang mantan wartawan film berkomentar bahwa film Lewat Djam Malam (1954) karya Asrul Sani sebagai film terbaik dari segi sinematografi maupun sosial karena mengangkat tema korupsi setelah perang revolusi usai. Ini masih relevan dengan kondisi pemerintahan saat ini dalam menumpas pemberantasan korupsi. Terkadang masyarakat mencari jawaban secara jelas lewat film karena lebih hidup dari pada sekedar debat kusir ditambah dengan standar kaidah sinematografi akan menambah kuatnya pesan yang akan disampaikan.

Tetapi yang terpenting dari semua itu bagaimana film bisa dijadikan alat atau media informasi, pendidikan, alternatif gagasan/idea bagi banyak manfaat bagi masyarakat. Setiap sugguhan tayangan berbobot bisa diterima dengan cara pandangan sederhana, setidaknya bisa membawa pandangan baru berupa nilai-nilai tersirat atau hiburan semata. Kasus film yang mengundang pandangan tersebut dari hal isu paling sensitif seperti poligami yang merupakan problematika sekaligus realita sosio-kultural di masyarakat. Nia Dinata berusaha melakukan pendekatan pandangan tentang poligami di Berbagi Suami. Paradigma sisi feminimisme perempuan coba disinggung, Yang pada akhirnya semua tergantung pada penonton mengenai keberpihakan soal poligami tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar