Sabtu, 25 Desember 2010

pandangan masyarakat about our filem

Pandangan apresiasi masyarakat sangatlah beragam terhadap film. Sangatlah mudah dijawab karena tingkat pendidikan, dikutip dari Riri Reza dalam suatu wawancara dengan sebuah majalah. Sangatlah wajar bila masyarakat masih meminati film tertentu butuh edukasi waktu yang panjang dan melelahkan. Setidaknya perlu adanya pendekatan persuasif dari berbagai elemen masyarakat, budayawan, insan-insan perfilman, pemerintah serta lembaga-lembaga terkait. Pelatihan-pelatihan atau couching clinic ke sekitar kampus dan sekolah, pernyelenggaraan Jiffest, Ganesha Film festival merupakan bagian pijakan yang benar kearah meleknya masyarakat terhadap bagaiman proses pembuatan film, seni peran, sinematogafi berserta unsur apresiasi dunia film.

Peran masyarakat mempunyai hak yang sama untuk ikut berperan serta dalam memelihara, mengembangkan, memajukan dan mengawasi perfilman Indonesia. Pernyataan publik berupa kebijakan demi keberlangsungan dan kemajuan perjalanan film ke depan lebih cerah, sense belonging bergerak menuju keselarasan dengan tentunya tidak untuk mematikan daya kreatifitas anak-anak bangsa ini dalam berkarya menciptakan demi keharmonisan keselarasan bangsa ini dengan haus ‘ spriritualistis’.

Hal ini di tunjang dengan meleknya rakyat Indonesia terhadap information technology kemudian bermunculan forum atau komunitas film independent menjamur, ada sekitar delapan puluh komunitas film tersebar di dunia maya. Sebut saja komunitas ini tersebar di berbagai kota seperti filmalternatif.org, rumahfilm.org, jiffest.org, masyarakatfilmindonesia. wordpress.com, dan masih banyak lagi. Hebatnya lagi sebagian komunitas film ( kineruku, kinoki, arisan forum) menerbitkan jurnal untuk mengkaji dan mengangkat tema-tema masalah film Indonesia.

Tidak hanya itu saja, terjun aktif dalam kegiatan kampanye atau slogan dalam memajukan citra film di seluruh pelosok, yang masih terakumulasi di perkotaan besar saja dewasa ini. Komunitas-komunitas secara independen mengadakan diskusi-diskusi aktif mengenai isu-isu film Indonesia. Hal ini berkat kemajuan teknologi Informasi sehingga masyarakat di manapun bisa mengakses informasi dengan dialog interaktif yang melekatkan antara mayarakat awam, penikmat film, dan para insan perfilman. Timbal balik ini setidaknya memperkuat dan menjawab permasalahan atau problematik seputar film Indonesia.

Kemajuan teknologi telah menjadi bagian terpenting dalam pembuatan film bangsa ini. Produksi film menjadi sangat mudah dan cepat dengan teknologi kamera video digital ditambah dengan kapasitas komputer semakin besar sehingga leluasa beranimasi. Membuka keran selebar-lebarnya bagi amatiran, profesional dalam membuat film. Banyak cerita pendek di ungkap hanya menggunakan camera digital dan HP yang kemudian di upload di internet sehingga bisa dinikmati secara luas.


Perlu proses yang panjang dengan waktu, kesabaran, keringat dari kebiasaan masyarakat menonton yang kurang mendidik ke tema-tema atau polemik yang ada disekitar masyarakat. Sehingga mereka memandang dengan optimistik hidup, toleran, dan berbagi sesama. Bangsa ini telah lama menderita ditambah dengan tayangan yang kurang mendukung cara pandang bahkan terkadang menjual mimpi, di harapkan mampu menonjolkan sisi positif bangsa yang terhormat dengan semangat kebanggan nasionalismne untuk mencintai bangsa sendiri. Citra melekat selama ini mampu dikikis lewat film yang mampu menggugah, inspiratif dengan cara penyajian cerita yang sederhana dan mudah dipahami.

Kampus sebagai wadah akedemisi sekaligus menjadi jembatan interaksi komunikasi antara praktisi dan lembaga perfilman pemerintah, dan masyarakat untuk saling berbagi pengetahuan, workshop, dan ajang apresiasi bisa diberi tempat yang layak didukung. Seperti Ganesha festival film di ITB yang menyelenggaran acara tahunan. Animo publik terutama mahasiswa terbentuknya forum komunitas apresiasi film banyak menambah perbendaharaan dalam urun rembuk problematika film Indonesia. Terkadang kritikan mereka sangat tajam dan lugas. Ini menunjukan bahwa awarenes dunia pendidikan masih eksis dan cenderung independent. Pergulatan pemikiran akademisi tentu banyak menyentuh masalah kebijakan dan peraturan perfilman. Di dasari kepedulian dan keprihatinan besar untuk masa depan sinema negeri ini.

Selektifitas atas tontonan bermutu dan mendokumentasikan adalah bagian dari pelestarian budaya bangsa. Definisi tontonan bermutu bermaksud pada film yang memiliki karakter, nilai, pandangan, ajakan, dan informasi sekaligus hiburan, bukan film sebaliknya. Tipe film ini yang pantas mendapatkan apresiasi setinggi. Meskipun pada pada faktanya tidak setiap film bermutu memiliki daya jual, boleh jadi idelisme bukan komersialisme.

Untuk menyajikan film yang bermutu, workshop merupakan edukasi pengetahuan para sineas muda dalam berkarya sebagai penunjang sebuah kaidah standar film. Christine Hakim berucap dalam sebuah workshop di Bali “Saya berharap akan muncul sutradara berbakat dari aktivitas ini,”. Workshop ini bertujuan mempersiapkan film yang mengangkat isu-isu lingkungan. Tak pelak lagi global warming ikut mewarnai perjalanan film di dunia. Al Gore mantan wakil presiden Amerika Serikat sendiri mengkampayekan ajakan kesadaran terhadap kutub utara yang mengalami pencairan es secara tajam. Tingginya keprihatinan terhadap perusakan alam, membawa dia mendapat hadiah Nobel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar