Sabtu, 25 Desember 2010

film kitaa doeloe...^^

Dimana kita bisa menikmati film-film dulu ?. Masih bisa kita tontonkah film gambar-gambar idoep ? Sebuah film dokumenter pertama yang di putar 5 desember 1900 di Tanah Abang sebelah toko mobil. Berisi tentang peristiwa di Eropa dan Afrika. Dimana film ini dipromosikan oleh harian Bintang Betawi. Tentu sangat sulit, hal ini ditegaskan oleh antropolog berujar bahwa “film Indonesia yang paling tua yang masih bisa ditonton adalah Enam Djam di Djogja (1951, Usmar Ismail).” Keterbatasan dan kurangnya program-program perlindungan nilai sejarah film nasional.

Ini menyangkut sistim dokumentasi, sebenarnya ada wadah yang mengelola bernama Sinematek Indonesia, lahir 20 Oktober 1975 bertempat di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Jakarta bertujuan menyimpan arsip. Inilah cikal bakal arsip film pertama di Asia tenggara dan telah terdaftar bergabung dengan FIAF (Federation Internasionale des Archives du Film), dan merupakan arsip pertama di Asia yang tergabung dalam asosiasi internasional.

Perawatan film seperti biasa kurang mendapatkan perhatian sehingga kerusakan tak terhindari. Alasan klise, masalah biaya maintainance dan kurang dukungan. Selama waktu itu Sinematek Indonesia masih mendapat dana dari Pemda DKI karena berdirinya bersama di keluarkanya SK guberbur DKI, Ali Sadikin. Setelah masa jabatan berakhir berakhir pula subsidi yang pada akhirnya diteruskan dengan mendirikan yayasan sebagai donatur dengan nominal dan instrument yang serba terbatas. Wajar bila banyak dokumentasi terbengkalai dan mulai rusak. Ungkapan kesedihan Salim Said dalam Pantulan Layar Putih, dimana sebagian film revolusi telah musnah dan hancur. Yang tersisa hanyalah guntingan koran, majalah, sinopsis film-film tersebut. Bahkan film monumental Tjoet Njak Dhien, Pareh, Terang Boelan, Antara Bumi dan Langit, Yang Muda Yang Bercinta, bahkan tidak kita jumpai di tempat itu.

Upaya mencegah kehancuran fatal telah banyak melalui kampanyenya kineforum Menolak Hilang Ingatan, idenya agar masyarakat tidak lupa akan filmnya sendiri dengan menggalang dana bisa lewat konser musik dengan cara yang unik dengan membuat album lagu, dimana diselipkan potongan film-film tempo dulu. Seperti pernyataan dari grup musik white shoes & the couples company yang beranggotakan berbasis IKJ “Album ini sangat, banget, terinspirasi oleh film-film nasional tempo dulu, seperti Tiga Dara, Asrama Dara, dan Ambisi. Di film-film itu, musik dengan film sangat dekat. Album ini kami buat dengan konsep sangat filmis, seperti soundtrack. Ada potongan dialog-dialog film yang dimasukkan (sebagai jembatan antara satu lagu dengan lagu berikutnya),"

Pemberdayaan lembaga atau komunitas bermotif pada pelestarian arsip film-film nasional, tidak hanya pada pusat kekuasaan saja. Tetapi harus merata di dearah atau pelosok negeri ini. Budaya lokal harus dijadikan aset berharga bagi informasi kepustakaan sekaligus kemandirian pemerintah daerah dalam meningkatkan kepedulian dan wawasan masyarakat setempat akan film. Tataran Sunda mengawalinya dengan film lokal pertama di tahun1926 berjudul Loetoeng Kasaroeng mengambil shooting di lokasi Padalarang dan diproduksi NV Java Film. Diperankan oleh anak bupati Bandung, lalu diputar di bioskop Majestic, yang sampai sekarang masih berdiri. Setahun kemudian diikuti film Eulis Atjih (Poetri Jang Tjantik dari Bandoeng), diputar di Bandung pada Agustus 1927. Sedangkan film kontemporer, budaya minang diangkat Riri Riza dalam film Eliana Eliana, Opera Jawa oleh Garin Nugroho.

Penyusunan atau daftar katalog film Indonesia yang diperoleh dari riset dan penelitian masih mendapat kendala dan belum ‘membumi’. Masih dalam tarap menempatan posisi atau eksistensi sebagai penyelamatan film nasional. Pandangan melihat penelitian sebagai kurang menguntungkan secara financial. Akhirnya kesenjangan informasi secara akurat dan detail sejarah film nasional sangat minim. Sangatlah wajar dan mendesak segera mengembangkan lembaga riset & penelitian film Indonesia sebagai bagian dari pelestarian karya seni layar lebar. Bisa dibuktikan sedikit tulisan ilmiah atau literatur secara sistematis sebagai sebuah buku, majalah, dan media lainya mengenai film Indonesia.Tengok saja di rak-rak toko buku apakah mudah mendapatkan informasi film?. Sudah saatnya pergerakan yang sifatnya melestarikan dan melembagakan segala informasi harus digalakan dan didukung oleh semua pihak. Agar kesalahan atau dosa sejarah tidak terulang lagi.

Membuka lembaran halaman buku lawas ibaratnya melihat sejarah film zaman dulu di jaman ini gampang-gampang susah. Mencari barang yang usang hanya mampir di museum-museum sejarah untuk menjaga kerusakan yang fatal. Boleh jadi itu hanya menjadi kenangan orang tua kita belaka. Begitulah kenyataan bila mencari karya-karya terdahulu dari para maestro sineas Indonesia. Bisa dikatakan alasan dengan mudah, bahwa teknologi dahulu berbeda format dengan sekarang. Bayangkan untuk merawat film perlu ruang penyimpanan film, bertemperatur 5 - 7 derajat Celcius dengan kelembaban 45% - 60% RH. Dalam kondisi ini film bisa dilestarikan sampai sekitar 50 tahun untuk film berwarna, 100 tahun untuk film hitam putih. Untuk bisa mempertahankan film berwarna hingga berusia 100 tahun temperaturnya harus 0 derajat Celcius dengan kelembaban ruang sekitar 40% RH. Cool storage serupa itu 'impiannya' akan dibangun di luar kota yang memiliki temperatur tidak sepanas Jakarta. Itu untuk menyimpan film arsip. Sedang ditempat yang sekarang hanya untuk menyimpan copy putar (screening copy).

Penggunaan program komputerisasi sebagai database katalog koleksi film, buku dan dokumentasi. Dengan adanya program ini diharapkan pengunjung mempermudah mencari data/informasi yang diperlukan. Dalam sistim dokumentasi dewasa ini orang dengan mudah menggandakan sebuah film dalam hitungan detik dalam sebuah compact disk ditambah dengan kapasitas VCD (700 MB), DVD (4,2 GB), dan teknologi DVD Blue-Ray (25 GB) bisa menyimpan sepuluh film.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar